Bangun Literasi Visual Melalui Buku Foto

Meski jumlah pehobi foto di wilayah Banyumas cukup banyak, namun tidak banyak fotografer yang mempublikasikan karyanya dalam bentuk buku. Melalui media yang tercetak ini, karya foto seseorang dapat diapreasi tanpa terkungkung waktu.

Pemikiran ini di dorong oleh salah satu Dosen Institut Teknologi Telkom Purwokerto Aji Susanto Anom M.Sn bersama komunitas fotografi Kelompok Logawa dalam diskusi Kumpul Buku Foto di kedai Kopi Kebon, Jalan HR Bunyamin, pada beberapa minggu lalu (4/5). (https://thefoundationspecialists.com) Dihadiri pula oleh sejumlah pehobi foto muda hadir untuk duduk dan berdiskusi bareng.

“Membuat buku foto itu mudah, tidak perlu jauh-jauh ke luar daerah,” terang Aji, selaku mentor pada acara diskusi kumpul buku foto.

Aji Susanto Anom

Aji menuturkan, pembuatan buku foto oleh sejumlah fotografer terkesan “sangat serius” saat penggarapan. Hal itu terlihat dari buku foto yang beredar di pasaran. Kebanyakan harus mengambil lokasi yang jauh hanya untuk membuat satu buku foto. Contohnya, fotografer Yoppy Pieter yang harus bolak balik ke Minangkabau saat membuat buku foto berjudul “Saujana Sumpu”. “Sebenarnya isi buku foto bisa dari keseharian,” tambahnya.

Imajinasi Sang Fotografer

Hal itu diamini oleh Kurniadi Widodo, yang  merupakan tim penyusun kumpulan buku foto “The Flock Project”. Dia sendiri telah melahirkan sebuah buku foto dari hasil memotret acara televisi dari layar kaca atau televisi tabung miliknya.

Ide pembuatan buku foto bertajuk “Imajinasi, Televisi” ini, terinspirasi setelah melihat hasil cetakan yang kurang menarik. Secara garis besar, kumpulan foto itu ingin menunjukkan absurditas penonton televisi di Indonesia yang dicekoki dengan tayangan kurang mendidik.

“Dahulu membuat buku harus melalui penerbit. Tapi sekarang bisa dilakukan secara independen, langsung datang ke percetakan atau melalui koneksi pribadi,” urainya.

Aji Susanto Anom

Kurniadi menyarankan, pembuat buku foto tak perlu kawatir dengan pemasaran. Hal itu bisa dilakukan secara mandiri atau dengan cara promosi di media sosial. “Maksimalkan percetakan yang ada, jangan lupa pula kerjasama dengan toko buku atau komunitas lokal” katanya.

Di sela diskusi, sejumlah buku foto dari dalam negeri juga dipajang, termasuk media cetak alternatif (zine) dari Banyumas Collective. Buku-buku foto tersebut digunakan sebagian pengunjung atau fotografer untuk menambah semangat untuk lebih memahami literasi tentang visual.

Sementara itu, pegiat Kelompok Logawa, Anang Firmansyah menjelaskan, Kumpul Buku merupakan ruang diskusi bagi fotografer untuk memperkaya kemampuan literasi visual. Hal ini bertujuan memotivasi fotografer Banyumas untuk berani membukukan karyanya.

“Diskusi ini juga menjadi sarana berbagi dan menggali ide serta cerita tentang fotografi khususnya di Banyumas agar semakin berkembang,” kata dia

Komentar

Maaf, Anda tidak bisa menulis komentar di post ini

Baca Berita terkait